Minggu, 10 November 2013

KARAKTERISTIK DAN MASALAH PERKEMBANGAN ANAK DENGAN GANGGUAN ATENSI DAN HIPERAKTIF


A.  Definisi Atensi
Atensi atau perhatian adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan maupun proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu.
Gangguan atensi dapat dikatakan apabila seorang anak tidak fokus dalam memperhatikan suatu hal atau perhatiannya terpecah dan mudah beralih. Jadi, untuk suatu pekerjaan, dia tidak bisa menuntaskannya. Sedikit-sedikit,  perhatiannya sudah berubah dan itu terjadi pada semua hal. Akan tetapi kesimpulan bahwa seorang anak sulit konsentrasi, baru bisa didapat setelah dibandingkan dengan anak normal umumnya. Seringkali anak-anak tersebut memiliki taraf kecerdasan mendekati rata-rata atau mungkin lebih tinggi dari rata-rata dan memiliki pendengaran dan penglihatan yang normal, tetapi mereka terlihat memiliki kesulitan memproses informasi sensoris, cemas dan kurang motivasi atau minat pada suatu hal (Lakoff,  2002)

B.  Definisi Hiperaktif
Ditinjau secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Begitu pula anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian. Gangguan ini disebabkan kerusakan kecil pada system saraf pusat dan otak sehingga rentang konsentrasi penderita menjadi sangat pendek dan sulit dikendalikan. Penyebab lainnya dikarenakan temperamen bawaan, pengaruh lingkungan, malfungsi otak, serta epilepsi. Atau bisa juga karena gangguan di kepala seperti geger otak, trauma kepala karena persalinan sulit atau pernah terbentur, infeksi, keracunan, gizi buruk, dan alergi makanan. Anak hiperaktiv adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Kondisi ini juga disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Dahulu kondisi ini sering disebut minimal brain dysfunction syndrome. Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang diajarkan guru kepadanya. (Mudzakkir, 2010)

   C.  Faktor Penyebab Masalah Gangguan Atensi Dan Hiperaktif
Penyebab gangguan defisit-atensi tidak diketahui. Sebagian besar anak dengan GDAH tidak menunjukan tanda-tanda cedera struktural yang besar pada sistem syaraf pusat. Sebaliknya, sebagian besar anak dengan gangguan neurologis yang diketahui yang disebabkan oleh cedera otak tidak menunjukan deficit atensi. Walau pun tidak adanya dasar neurofisiologis atau neurokimia spesifik untuk gangguan, ganggguan dapat diperkirakan berhubungan dengan berbagai gangguan lain yang mempengaruhi fungsi otak, seperti gangguan belajar. Faktor penyumbang yang diajukan untuk GDAH adalah pemaparan toksin pranatal, prematuritas, dan kerusakan mekanis pranatal pada sistem saraf janin.
Beberapafaktor yang menyebabkan seorang anak mengalamai gangguan atensi dan hiperaktif yaitu :

a.    Faktor genetik
Bukti-bukti untuk dasar genetic untuk gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas adalah lebih besarnya angka kesesuaian dalam kembar monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Juga, sanak saudara anak-anak hiperaktif memiliki risiko dua kali menderita gangguan dibanding anpopulasiumum. Salah satu sanak saudara mungkin memiliki gejala hiperaktivitas yang menonjol, dan yang lain memiliki inatensi yang menonjol.
b.    Cedera otak
Telah lama diperkirakan bahwa beberapa anak yang terkena GDAH mendapatkan cedera otak yang minimal dan samar-samar pada sistem saraf pusatnya selama periode janin perinatalnya. Atau cedera otak mungkin disebabkan olehh efeksirkulasi, toksik, metabolik, mekanik, danefek lain yang merugikan dan oleh stress dan kerusakan fisik pada otak selama masa bayi yang disebabkan oleh infeksi, peradangan, dan trauma. Cedera otak yang minimal, samar-samar, dan subklinis mungkin bertanggung jawab untuk timbulnya gangguan belajar dan GDAH.Tanda neurologisnonfokal (lunak) sering ditemukan.
c.    Faktor neurologis
Otak manusia normal menjalani kecepatan pertumbuhan utama pada beberapa usia: 3 sampai 10 bulan, 2 sampai 4 tahun, 6 sampai 8 tahun, 10 sampai 12 tahun, dan 14 sampai 16 tahun. Beberapa anak mengalami maturasi pertumbuhan secara berurutan dan menujukan gejala GDAH yang tampaknya sementara. Suatu korelasi fisiologis adalah ditemukannya berbagai pola elektroensefalogram (EEG) abnormal yang terdisorganisasi dan karakteristik untuk anak kecil. Pada beberapa kasus temuan EEG menjadi normal dengan berjalannya waktu.
d.   Faktor psikososial.
Anak-anakdalam institusi seringkali overaktif dan memiliki rentang atensi yang buruk.Tanda tersebut dihasilkan dari pemutusan emosional yang lama, dan gejala menghilang jika faktor pemutus dihilangkan, seperti melalui adopsi atau penempatan di rumah penitipan. Kejadian fisik yang menimbulkan stres, suatu gangguan dalam keseimbangan keluarga, dan faktor yang menyebabkan kecemasan berperan dalam awal atau berlanjutnya GDAH.




  D.  Karakteristik Anak Dengan Gangguan Atensi Dan Hiperaktif
         1.    Karakteristik Anak dengan Gangguan Atensi (Kobi, 2007)
a.    Mudah beralih perhatiannya (karena melihat atau mendengar sesuatu), perhatian beralih minimal 3 kali selama tes karena stimuli lingkungan.
b.    Aktivitas tinggi, selalu berlari berkeliling & tidak mampu duduk selama melakukan satu aktivitas; meninggalkan meja 3 kali atau lebih selama tes, mungkin berdiri di atas meja tes, selama tes memerlukan istirahat beberapa kali.
c.    Hanya bermain sebentar dengan satu mainan, untuk kemudian beralih ke aktivitas yang baru.
d.   Impulsif dalam memegang sesuatu, perlu diingatkan 3 kali atau lebih sebelum menyentuh sesuatu.
e.    Menghilang dari aktivitas, sulit untuk ikut aktivitas kembali, perlu respon segera.
f.     Tidak dapat beralih fokus dari satu obyek ke obyek lain setelah bermain dalam periode yang lama.
g.    Mudah menyerah bila frustrasi dan perlu dorongan untuk terus melakukan aktivitas.
h.    Hanya memilih tugas yang mudah.
i.      Kegiatan tak bertujuan, tanpa eksplorasi yang terpusat.
j.      Tergantung pada orang dewasa untuk memusatkan perhatian selama aktivitas bermain.
k.    Menjadi sangat gembira bila berada di keramaian, misalnya di pasar swalayan atau restoran yang ramai.

    2.    Karakteristik Anak dengan Masalah Hiperaktif
Menurut  buku ”Anak Hiperaktif” (Zafiera, Ferdinand. 2007. Jogjakarta: Katahati) Ciri anak hiperaktif atau anak penderita attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). (Mudzakkir, 2010)

a.    Tidak fokus
Anak dengan gangguan hiperaktif tidak bisa konsentrasi lebih dari lima menit. Tidak memiliki focus yang jelas dan melakukan sesuatu tanpa tujuan. Cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi dengan baik.
b.      Sulit untuk dikendalikan
Anak hiperaktif memang selalu bergerak, nakal. Keinginannya harus segera dipenuhi. Tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan.
c.       Impulsif
Melakukan sesuatu secara tiba-tiba tanpa dipikir lebih dahulu. Selalu ingin meraih dan memegang apapun yang ada di depannya. Gangguan perilaku ini biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dasar, atau sebelum mereka berusia 7 tahun.
d.      Menentang
Umumnya memiliki sikap penentang/pembangkang/tidak mau dinasehati. Penolakannya ditunjukkan dengan sikap cuek.
e.       Destruktif
Destruksif atau merusak. Merusak mainan yang dimainkannya dan cenderung menghancurkan sangat besar.
f.       Tidak kenal lelah
Sering tidak menunjukkan sikap lelah, hal inilah yang sering kali membuat orang tua kewalahan dan tidak sanggup meladeni perilakunya.
g.      Tidak sabar dan usil
Ketika bermain tidak mau menunggu giliran,tetapi langsung merebut. Sering pula mengusili teman-temannya tanpa alas an yang jelas.
           h  .      Intelektualitas rendah
       Sering kali anak dengan gangguan hiperaktif memiliki intelektualitas di bawah rata-rata anak normal.               Mungkin dikarenakan secara psikologis mentalnya sudah terganggu sehingga ia tidak bisa menunjukkan          kemampuan kreatifnya.



      E.   Identifikasi Masalah Gangguan Atensi Dan Hiperaktif Pada Anak
Gangguan atensi dapat dikatakan apabila seorang anak tidak fokus dalam memperhatikan suatu hal atau perhatiannya terpecah dan mudah beralih. Jadi, untuk suatu pekerjaan, dia tidak bisa menuntaskannya. Anak dengan gangguan atensi akan mudah melamun, cepat panik atau bingung, lambat dan tidak luwes. Mereka juga kadang salah dalam mengartikan informasi yang diterimanya, sulit memahami atau mengerti penjelasan gurunya(Lokaff, 2002)
Gangguan Hiperaktifditandai dengan adanya gejala ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat buruk atau sangat singkat waktunya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusianya. Anak dengan gangguan hiperaktif  mengalami berbagai hambatan dalam perkembangannya, baik yang berkaitan dengan akademik, penyesuaian sosial, emosi, tingkah laku, kognitif dan fisikal.
Anak dengan gangguan hiperaktif memiliki beberapa ciri perilaku antara lain:
   1.    Mereka seringkali sulit konsentrasi dalam belajar sehingga tidak mudah bertahan dalam rentang perhatian yang lama dan sulit menyimpan informasi yang sudah dipelajari semalaman untuk dipertahankan sampai di sekolah saat ulangan.
    2.     Ketika menjalin relasi sosial mereka cenderung bersikap tidak matang, mau menang sendiri, tidak sabar menunggu giliran, dan ingin kemauannya segera dituruti.
   3.    Ketika menulis atau mencatat mereka seringkali tertinggal dan akhirnya tidak selesai mengerjakan tugasnya di sekolah. Selain itu sering dijumpai bahwa tulisan mereka tidak lengkap, ada huruf tertentu atau angka tertentu yang hilang atau ada kata/kalimat yang terlewati. Bahkan mereka juga bisa mengalami salah melihat atau membaca tanda baca (+, , : , dan x), kata dan kalimat.
Selain itu ciri anak dengan gangguan hiperaktif memiliki aktivitas motorik lebih dari ratarata anak seusianya, bila duduk tidak bisa diam, tidak bisa duduk lama selalu bergerak, berjalanjalan, impulsif, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak pernah berhenti bicara. Ia juga memiliki aktivitas kognitif dengan perhatian mudah beralih, rentang pemusatan perhatian pendek, sulit mengikuti beberapa instruksi secara berurutan, cepat lupa, mudah gusar, tidak mudah jera, toleransi terhadap frustrasi rendah, melamun, dan murung bila dibandingkan dengan anak seusianya.
Orang tua dapat bekerjasama dengan guru dan pihak sekolah untuk membantu anak dengan gangguan hiperaktif menyesuaikan diri dengan tuntutan belajar di sekolah dan meningkatkan ketrampilan sosialnya, antara lain:
   1.    Pengaturan posisi duduk anak sebaiknya di depan, dekat dengan meja guru. Posisi tersebut paling ideal karena guru dapat memantau dengan mudah kegiatan belajar anak di kelas dan anak lebih mudah memusatkan perhatiannya pada guru ketika mengajar.
   2.     Menempatkan teman yang tepat untuk duduk dekat posisinya. Teman yang tepattersebut memiliki kriteria, antaralain: kematangan perkembangannya sesuai dengan usianya, bisa menjadi motivator, pengawas, dan pendamping kegiatan belajar di kelas.
   3.     Bentuk evaluasi belajar (tes) anak di sekolah bisa disampaikan secara lisan. Hal ini membantu anak untuk bisa mencapai hasil evaluasi (tes) yang lebih optimal dibandingkan anak harus menulis.
   4.    Pelaksanaan evaluasi belajar (ulangan) diusahakan dapat dilakukan pada awal jam pelajaran sekolah (jam pertama ketiga). Hal ini perlu dilakukan untuk semua anak karena kondisi yang letih akan mempengaruhi konsentrasi dan daya ingat anak, khususnya pada anak dengan gangguan hiperaktif.
  5.    Guru dapat memberikan waktu khusus bagi anak untuk mengejar ketinggalan dalam mencatat atau mengoreksi kesalahan tulisannya setiap hari setelah pelajaran sekolah berakhir.
   6.    Apabila kondisi memungkinkan, anak diijinkan menggunakan notebook karena akan membantu kecepatan anak untuk mencatat dibandingkan harus menulis dengan tangan.
  7.    Anak diijinkan untuk merekam materi pelajaran yang disampaikan guru secara lisan karena akan membantu anak untuk lebih mudah mempelajari kembali pelajaran daripada anak harus banyak mencatat dan membaca tulisannya yang seringkali tidak lengkap karena sering tertinggal.
 8.    Anak dibiasakan untuk memeriksa kembali hasil pekerjaannya sebelum diserahkan pada guru dan memeriksa bukubuku dan perlengkapan sekolah setiap kali sebelum dan sesudah pulang sekolah.
  9.    Sekolah dapat menyediakan modul belajar dan lembar kerja siswa untuk masingmasing pelajaran sehingga anak tidak terlalu banyak mencatat.
   10.  Tugas tanggung jawab sederhana yang dapat melatih anak beinteraksi sosial dan peduli terhadap keadaan teman dapat diserahkan pada anak, seperti: mendata jumlah teman-teman yang hadir dan yang tidak hadir di kelas, menelpon teman yang sakit, dan atau memperhatikan/ mengingatkan tanggal ulangtahun setiap teman di kelas, dsb. (Fitri, 2011)


   F.   Dampak dari Anak dengan Gangguan Atensi dan Hiperaktif
Beberapa dampak dari anak dengan gangguan atensi dan hiperaktif sebagai berikut.
a.    Kurangnya penyerapan pelajaran,
Siswa dengan gangguan atensi tentu tidak bisa berkonsentrasi sehingga guru dituntut untuk bersabar dan bekerja lebih dalam menyampaikan materi. Guru juga harus menyiapkan segala sesuatunya agar pembelajaran lebih menarik.  Dalam buku pendidikan anak berkebutuhan khusus halaman 79 disebutkan bahwa “…diperlukan program khusus, antara lain latihan konsentrasi, bimbingan gerak yang bermanfaat, materi yang menarik dan tidak terlalu panjang durasinya, latihan kedisiplinan, latihan penenangan emosi, dan penyesuaian diri. ”  Selain itu, hal yang sangat penting adalah perhatian dan kasih sayang dari guru.
b.    Berisik
Siswa hiperaktif cenderung berisik tidak bisa diam sehingga mengganggu konsentrasi siswa lain. Tidak sedikit teman-temannya tidak menyukai anak yang hiperktif.
c.    Siswa cenderung mendapatkan perlakuan yang salah dari keluarga, dan/atau lingkungan masyarakat
Seorang anak dengan gangguan atensi dan hiperaktif biasanya dekat dengan hal negatif, seperti “bodoh”, “nakal” dan “bandel”, sehingga cenderung mendapatkan perlakuan yang kasar dan bersifat memaksakan kehendak dari keluarga dan masyarakat.
d.   Gangguan membaca
Dalam ipaperfakultaskedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, anak dengan gagangguan atensi dan hiperaktif cenderung mengalami kesulitan dalam membaca. Hal itu dikarenakan membaca membutuhkan ketenangan dan konsentrasi yang justru tidak dimiliki anak-anak dnengan gangguan atensi dan hiperaktif. (Ipaper, 2009)





DAFTAR PUSTAKA

Fitri. (2011). Gangguan Pemusatan Perhatian. (Online). Tersedia:
Kobi. (2007). Karakteristik Anak dengan Gangguan Atensi. (Online). Tersedia:
Lakoff, A. (2002). Adaptive will: the evolution of attention deficit disorder. Journal of the History of the Behavioral Sciences, 36 (2), 149 –169.
[10 September 2013]
Mudzakkir. (2010). Pengertan Anak Hiperaktif. (Online). Tersedia: http://ideguru.wordpress.com/2010/04/08/pengertian-anak-hiperaktif/
[11 September 2013]
Mudzakkir. (2010). Ciri-Ciri Anak Hiperaktif atau Penderita ADHD. (Online). Tersedia:
Nani, E. (2010). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: CV. Catur Karya Mandiri.
nn.(2009). Gangguan Belajar pada Anak. (Online). Tersedia:

Sabtu, 09 November 2013

KARAKTERISTIK DAN MASALAH PERKEMBANGAN ANAK TUNARUNGU


A.    Pengertian Tunarungu
Keadaan dimana seseorang kehilangan pendengarannya yang mengakibatkan ia tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengarannya disebut tunarungu.
Menurut Andreas Dwidjosumarto yang dikutip oleh Somantri (2005:93) seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ada dua kategori ketunarunguan yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa yang dikatakan tunarungu bukan hanya individu yang benar-benar tidak bisa mendengar/tuli melainkan juga individu yang mengalami kesulitan pendengaran.
Menurut Kosasih (2012:173) terdapat kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini dapat menjadi suatu rangkaian sebab dan akibat.
Selain itu, Mufti Salim yang dikutip oleh Somantri (2005:93) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan yang berhubungan dengan indera pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.


B.     Karakteristik Anak Tunarungu
Untuk mengenal dan mengidentifikasi anak tunarungu, perlu adanya kemampuan untuk mengetahui karakteristik yang dimilikinya. Berikut ini adalah karakteristik anak tunarungu menurut Hidayat, dkk. (2006:129).
         1.         Karakteristik fisik, meliputi:
a.       cara berjalannya kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu,
b.      gerak kaki dan tangannya lincah/cepat sebab sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sebagai pengganti bahasa lisannya,
c.       gerakan matanya cepat dan beringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya, dan
d.      kemampuan pernapasannya pendek-pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik.
         2.         Karakteristik dalam segi bicara/bahasa, meliputi:
a.       biasanya individu yang tunarungu juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa,
b.      tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c.       anak tunarungu miskin dalam kosakata,
d.      mengalami kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak,
e.       dia kurang menguasai irama dan gaya bahasa, dan
f.       dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
         3.         Karakteristik kepribadiannya, meliputi:
a.       anak tunarungu yang tidak bependidikan cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam (bengis), tidak simpatik, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin membalas dendam, dan sebagianya,
b.      lingkungan yang menyenangkan dan memanjakan dpat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian mental maupun emosi, dan
c.       anak tunarungu menunjukan kondisi yang lebih neurotik, mengalami ketidakamanan dan berkepribadian tertutup (introvert).
         4.         Karakteristik emosi dan sosialnya, meliputi:
a.       suka menafsirkan secara negatif,
b.      kurang mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak,
c.       memiliki perasaan rendah diri dan merasa diasingkan, dan
d.      memiliki rasa cemburu dan prasangka karena tidak diperlakukan dengan adil serta sulit bergaul.

C.     Klasifikasi Tunarungu
Melihat dari rentang waktu terjadinya ketunarunguan, Kirk yang dikutip oleh Kosasih (2012:173) mengelompokan gangguan pendengaran kedalam dua jenis, yakni prelingual dan postlingual. Kelompok anak tunarungu prelingual termasuk dalam tunarungu berat. Adapun postlingual adalah anak yang mengalami kehilangan ketajaman pendengaran setelah kelahirannya.
Menurut Somantri (2005:94) tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu klasifikasi secara etiologis dan menurut tarafnya. Di bawah ini penjelasan dari dua klasifikasi tersebut.
1.      Klasifikasi secara etiologis
yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor yaitu:
a.       Pada saat sebelum dilahirkan
1)      Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain.
2)      Karena penyakit; seaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain.
3)      Keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan ibu meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
b.      Pada saat kelahiran
1)      Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang).
2)      Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
c.       Pada saat setelah kelahiran (post natal)
1)      Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.
2)      Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
3)      Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.
2.      Klasifikasi menurut tarafnya
Andreas Dwidjosumarto (Somantri, 2005:95) mengemukakan:
a.       tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35-54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
b.      tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c.       tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antara 70-89 dB.
d.      tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakikatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

D.    Pengaruh Pendengaran pada Perkembangan Bicara dan Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya. Ketajaman pendegaran sangat mempengaruhi proses perkembangan bicara dan bahasa. Anak tunarungu akan mengalami hambatan yang cukup berat dalam hal ini karena proses peniruanya hanya terbatas pada peniruan visual, sehingga anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarunguannya.
Menurut Sri Moerdiani (1987:29) perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu dapat digambarkan sebagai berikut.
1.  Fase Motorik yang tidak teratur
    a.   Anak melakukan gerakan-gerakan yang teratur.
    b.  Menangis
2.  Fase Meraban (Bubbling)
Pada awal fase meraban tidak terjadi hambatan, karena fase meraban merupakan gerakan alamiah dari pernapasan dan pita suara. Fase meraban ini sama dengan fase meraban anak normal. Namun karena anak tunarungu tidak memperoleh umpan balik dari suaranya sendiri dan respons dari orang dewasa disekitarnya, meraban ini lama-lama menghilang dan tidak diikuti oleh fase bicara selanjutnya.

Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu harus melalui penglihatannya dan memanfaatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada dirinya.
Hambatan perkembangan bahasa yang dialami oleh anak tunarungu dapat berdampak pada kesulitan mereka dalam memaknai arti kata, sehingga anak ini bisa mengembangkan konsep kata melalui manipulasi gerak bibir. Berdasarkan penelitian Lewis yang dikutip oleh Hidayat, dkk. (2006:22) mengemukakan bahwa “ketunarunguan yang dialami seorang anak dapat mengakibatkan perasaan harga diri kurang dan mudah curiga terhadap orang lain”. Dampak dari kondisi tersebut mereka tidak dapat menyesuaikan diri atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial sehingga mereka tidak dapat mewujudkan diri dalam peran sosialnya secara optimal.
Bahasa mempunyai fungsi dan peran pokok sebagai media untuk berkomunikasi. Menurut Depdikbud yang dikutip Somantri (2005:96) dalam fungsinya dapat pula dibedakan bebagai peran lain dari bahasa seperti:
1)      bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak/hubungan,
2)      untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan keinginan,
3)      untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain,
4)      untuk pemberian informasi, dan
5)      untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka akan memiliki sarana untuk mengembangkan segi sosial, emosional, maupun intelektualnya.
Menurut Somantri (2005:96-97) media komunikasi yang dapat digunakan sebagai berikut.
a)      Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak anak tunarungu.
b)      Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya.
c)      Menggunakan isyarat sebagai media.

E.       Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu
Ketunarunguan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang tunarungu mengalami kesulitan dalam perkembangan kognitifnya, sehingga akan berakibat pada terhambatnya proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas.
Soemantri (2005:97) mengemukakan bahwa pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan kiranya daya abstraksi anak.
Perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi anak tunarungu.
Cruickshank yang dikutip oleh Somantri (2005:97) mengemukakan  bahwa anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.

Dengan demikian, hambatan intelektual yang rendah anak tunarungu bukanlah suatu penyebab kerendahan tingkat intelegensinya, melainkan karena tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan intelegensinya. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensi anak tunarungu. Anak tunarungu terhambat perkembangannya yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian. Sementara aspek intelegensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat.

F.      Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu
Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan cara-cara yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. (Somantri, 2005:99)
Untuk mengetahui keadaan kepribadian anak tunarungu, kita perlu perhatikan bagaimana penyesuaian diri mereka. Hubungan antara anak dan orang tua terutama ibu menentukan perkembangan kepribadiannya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima rangsangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.


G.    Masalah-Masalah yang Dialami Anak Tunarungu
Masalah-masalah yang dialami anak tunarungu dapat digolongkan sebagai berikut.
1.      Masalah Komunikasi
Masalah ini adalah masalah anak tunarungu yang paling kompleks, masalah ini timbul karena tidak berfungsinya indra pendengaran baik sebagian maupun seluruhnya yang ternyata berakibat fatal dalam kehidupannya. Masalah-masalah lain yang ditimbulkan karena masalah komunkasi diataranya: tingkah laku yag ditandai dengan tekanan emosi, suka marah, kesulitan dalam penyesuaian sosial, perkembangan bahasa yang lambat dan gelisah.
2.      Masalah Pribadi
Masalah ini mencakup permasalahan yang berkaitan dengan masalah kondisi pribadi anak tuarugu, masalah-masalah berkisar pada perasaan tertekan, perasaan ragu-ragu, selalu curiga dan agresif.
3.      Masalah Pengajaran atau Kesulitan Belajar
Masalah ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam proses belajar-mengajar. Masalah yang timbul dalam proses belajar-mengajar misalnya kesulitan menangkap kata-kata abstrak terutama mengalami kesulitan belajar bidang studi bahasa.
4.      Masalah Penggunaan Waktu Terluang
Dengan beralasan pada kelainan yang dimiliki, anak tunarungu sering membuat waktu luangnya dengan sia-sia tidak sedikitpun kegiatan berguna yang dilakukannya.
5.      Masalah Pembinaan Keterampilan dan Pekerjaan
Anak tunarungu biasanya memiliki kemampuan akademik terbatas atau terhambat didalam pengembangannya, sehingga membuat dirinya kesulitan dalam mencari pekerjaan dan megakibatkan ia terlalu menggantungkan dirinya pada orang lain.

H.    Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan
Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan adalah sebagai berikut.
1.      Bagi anak tunarungu sendiri
Anak tunarungu biasaya miskin kosakata sehingga ia akan kesulitan dalam mengartikan kata-kata yang abstrak dan mengandung kiasan, mengalami gangguan bicara, sehingga pada intinya anak tunarungu mengalami gangguan dalam bicara dan berbahasa atau komunikasi.
2.      Bagi keluarga
Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada bimbingan dan pengaruh keluarga karena keluarga merupakan faktor terpenting terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa. Biasanya reaksi pertama saat orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Menurut Somantri (2005:101) reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam pola, yaitu:
a.       timbulnya rasa bersalah atau berdosa,
b.      orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya,
c.       orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain, dan
d.      orang tua menerima anaknya beserta keadaannya sebagaimana mestinya.

Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan anaknya itu. Sebagai reaksi dari orang tua atas sikap-sikapnya itu maka:
a.       orang tua ingin menebus dosa dengan cara mencurahkan kasih sayangnya secara berlebih-lebihan pada anaknya,
b.      orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya,
c.       orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah, dan
d.      orang tua bersikap realistis terhadap anaknya.
Sikap-sikap orang tua ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anaknya. (Somantri, 2005:101)

3.      Bagi masyarakat
Pandangan bahwa anak tunarungu tidak dapat berbuat apapun yang umum beredar di masyarakat luas, menyebabkan anak tunarungu sulit memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan oleh orang normal.
Hal ini menyebabkan adanya kecemasan pada diri anak tunarngu serta keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapat bekerja sebagaimana biasanya.
4.      Bagi penyelenggara pendidikan
Pendidikan bagi anak tuanrungu sebenarnya tidaklah kurang, karena sudah ada lembaga pendidikan yang khusus menangani mereka seperti sekolah luar biasa (SLB) yang juga biasanya ada asrama bagi anak tunarungu yang tempat tinggalnya berada jauh dari sekolah, namun rupanya usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk menyekolahkan mereka.
Menurut Somantri (2005:102) usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.