Sabtu, 09 November 2013

KARAKTERISTIK DAN MASALAH PERKEMBANGAN ANAK TUNARUNGU


A.    Pengertian Tunarungu
Keadaan dimana seseorang kehilangan pendengarannya yang mengakibatkan ia tidak dapat menangkap berbagai rangsangan melalui indera pendengarannya disebut tunarungu.
Menurut Andreas Dwidjosumarto yang dikutip oleh Somantri (2005:93) seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ada dua kategori ketunarunguan yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa yang dikatakan tunarungu bukan hanya individu yang benar-benar tidak bisa mendengar/tuli melainkan juga individu yang mengalami kesulitan pendengaran.
Menurut Kosasih (2012:173) terdapat kecenderungan bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara. Kondisi ini dapat menjadi suatu rangkaian sebab dan akibat.
Selain itu, Mufti Salim yang dikutip oleh Somantri (2005:93) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan yang berhubungan dengan indera pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.


B.     Karakteristik Anak Tunarungu
Untuk mengenal dan mengidentifikasi anak tunarungu, perlu adanya kemampuan untuk mengetahui karakteristik yang dimilikinya. Berikut ini adalah karakteristik anak tunarungu menurut Hidayat, dkk. (2006:129).
         1.         Karakteristik fisik, meliputi:
a.       cara berjalannya kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu,
b.      gerak kaki dan tangannya lincah/cepat sebab sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, sebagai pengganti bahasa lisannya,
c.       gerakan matanya cepat dan beringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya, dan
d.      kemampuan pernapasannya pendek-pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik.
         2.         Karakteristik dalam segi bicara/bahasa, meliputi:
a.       biasanya individu yang tunarungu juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa,
b.      tunarungu yang diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c.       anak tunarungu miskin dalam kosakata,
d.      mengalami kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak,
e.       dia kurang menguasai irama dan gaya bahasa, dan
f.       dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
         3.         Karakteristik kepribadiannya, meliputi:
a.       anak tunarungu yang tidak bependidikan cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam (bengis), tidak simpatik, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin membalas dendam, dan sebagianya,
b.      lingkungan yang menyenangkan dan memanjakan dpat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian mental maupun emosi, dan
c.       anak tunarungu menunjukan kondisi yang lebih neurotik, mengalami ketidakamanan dan berkepribadian tertutup (introvert).
         4.         Karakteristik emosi dan sosialnya, meliputi:
a.       suka menafsirkan secara negatif,
b.      kurang mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak,
c.       memiliki perasaan rendah diri dan merasa diasingkan, dan
d.      memiliki rasa cemburu dan prasangka karena tidak diperlakukan dengan adil serta sulit bergaul.

C.     Klasifikasi Tunarungu
Melihat dari rentang waktu terjadinya ketunarunguan, Kirk yang dikutip oleh Kosasih (2012:173) mengelompokan gangguan pendengaran kedalam dua jenis, yakni prelingual dan postlingual. Kelompok anak tunarungu prelingual termasuk dalam tunarungu berat. Adapun postlingual adalah anak yang mengalami kehilangan ketajaman pendengaran setelah kelahirannya.
Menurut Somantri (2005:94) tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu klasifikasi secara etiologis dan menurut tarafnya. Di bawah ini penjelasan dari dua klasifikasi tersebut.
1.      Klasifikasi secara etiologis
yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor yaitu:
a.       Pada saat sebelum dilahirkan
1)      Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain.
2)      Karena penyakit; seaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain.
3)      Keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan ibu meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
b.      Pada saat kelahiran
1)      Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang).
2)      Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.
c.       Pada saat setelah kelahiran (post natal)
1)      Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.
2)      Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
3)      Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.
2.      Klasifikasi menurut tarafnya
Andreas Dwidjosumarto (Somantri, 2005:95) mengemukakan:
a.       tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35-54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
b.      tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.
c.       tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antara 70-89 dB.
d.      tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.
Penderita dari tingkat I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakikatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

D.    Pengaruh Pendengaran pada Perkembangan Bicara dan Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya. Ketajaman pendegaran sangat mempengaruhi proses perkembangan bicara dan bahasa. Anak tunarungu akan mengalami hambatan yang cukup berat dalam hal ini karena proses peniruanya hanya terbatas pada peniruan visual, sehingga anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarunguannya.
Menurut Sri Moerdiani (1987:29) perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu dapat digambarkan sebagai berikut.
1.  Fase Motorik yang tidak teratur
    a.   Anak melakukan gerakan-gerakan yang teratur.
    b.  Menangis
2.  Fase Meraban (Bubbling)
Pada awal fase meraban tidak terjadi hambatan, karena fase meraban merupakan gerakan alamiah dari pernapasan dan pita suara. Fase meraban ini sama dengan fase meraban anak normal. Namun karena anak tunarungu tidak memperoleh umpan balik dari suaranya sendiri dan respons dari orang dewasa disekitarnya, meraban ini lama-lama menghilang dan tidak diikuti oleh fase bicara selanjutnya.

Perkembangan kemampuan bahasa dan komunikasi anak tunarungu harus melalui penglihatannya dan memanfaatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu mempergunakan segala aspek yang ada pada dirinya.
Hambatan perkembangan bahasa yang dialami oleh anak tunarungu dapat berdampak pada kesulitan mereka dalam memaknai arti kata, sehingga anak ini bisa mengembangkan konsep kata melalui manipulasi gerak bibir. Berdasarkan penelitian Lewis yang dikutip oleh Hidayat, dkk. (2006:22) mengemukakan bahwa “ketunarunguan yang dialami seorang anak dapat mengakibatkan perasaan harga diri kurang dan mudah curiga terhadap orang lain”. Dampak dari kondisi tersebut mereka tidak dapat menyesuaikan diri atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial sehingga mereka tidak dapat mewujudkan diri dalam peran sosialnya secara optimal.
Bahasa mempunyai fungsi dan peran pokok sebagai media untuk berkomunikasi. Menurut Depdikbud yang dikutip Somantri (2005:96) dalam fungsinya dapat pula dibedakan bebagai peran lain dari bahasa seperti:
1)      bahasa sebagai wahana untuk mengadakan kontak/hubungan,
2)      untuk mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan keinginan,
3)      untuk mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain,
4)      untuk pemberian informasi, dan
5)      untuk memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka akan memiliki sarana untuk mengembangkan segi sosial, emosional, maupun intelektualnya.
Menurut Somantri (2005:96-97) media komunikasi yang dapat digunakan sebagai berikut.
a)      Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak anak tunarungu.
b)      Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya.
c)      Menggunakan isyarat sebagai media.

E.       Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu
Ketunarunguan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang tunarungu mengalami kesulitan dalam perkembangan kognitifnya, sehingga akan berakibat pada terhambatnya proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas.
Soemantri (2005:97) mengemukakan bahwa pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan kiranya daya abstraksi anak.
Perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi anak tunarungu.
Cruickshank yang dikutip oleh Somantri (2005:97) mengemukakan  bahwa anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.

Dengan demikian, hambatan intelektual yang rendah anak tunarungu bukanlah suatu penyebab kerendahan tingkat intelegensinya, melainkan karena tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan intelegensinya. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensi anak tunarungu. Anak tunarungu terhambat perkembangannya yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian. Sementara aspek intelegensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat.

F.      Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu
Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan cara-cara yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. (Somantri, 2005:99)
Untuk mengetahui keadaan kepribadian anak tunarungu, kita perlu perhatikan bagaimana penyesuaian diri mereka. Hubungan antara anak dan orang tua terutama ibu menentukan perkembangan kepribadiannya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima rangsangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.


G.    Masalah-Masalah yang Dialami Anak Tunarungu
Masalah-masalah yang dialami anak tunarungu dapat digolongkan sebagai berikut.
1.      Masalah Komunikasi
Masalah ini adalah masalah anak tunarungu yang paling kompleks, masalah ini timbul karena tidak berfungsinya indra pendengaran baik sebagian maupun seluruhnya yang ternyata berakibat fatal dalam kehidupannya. Masalah-masalah lain yang ditimbulkan karena masalah komunkasi diataranya: tingkah laku yag ditandai dengan tekanan emosi, suka marah, kesulitan dalam penyesuaian sosial, perkembangan bahasa yang lambat dan gelisah.
2.      Masalah Pribadi
Masalah ini mencakup permasalahan yang berkaitan dengan masalah kondisi pribadi anak tuarugu, masalah-masalah berkisar pada perasaan tertekan, perasaan ragu-ragu, selalu curiga dan agresif.
3.      Masalah Pengajaran atau Kesulitan Belajar
Masalah ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam proses belajar-mengajar. Masalah yang timbul dalam proses belajar-mengajar misalnya kesulitan menangkap kata-kata abstrak terutama mengalami kesulitan belajar bidang studi bahasa.
4.      Masalah Penggunaan Waktu Terluang
Dengan beralasan pada kelainan yang dimiliki, anak tunarungu sering membuat waktu luangnya dengan sia-sia tidak sedikitpun kegiatan berguna yang dilakukannya.
5.      Masalah Pembinaan Keterampilan dan Pekerjaan
Anak tunarungu biasanya memiliki kemampuan akademik terbatas atau terhambat didalam pengembangannya, sehingga membuat dirinya kesulitan dalam mencari pekerjaan dan megakibatkan ia terlalu menggantungkan dirinya pada orang lain.

H.    Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan
Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan adalah sebagai berikut.
1.      Bagi anak tunarungu sendiri
Anak tunarungu biasaya miskin kosakata sehingga ia akan kesulitan dalam mengartikan kata-kata yang abstrak dan mengandung kiasan, mengalami gangguan bicara, sehingga pada intinya anak tunarungu mengalami gangguan dalam bicara dan berbahasa atau komunikasi.
2.      Bagi keluarga
Berhasil tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada bimbingan dan pengaruh keluarga karena keluarga merupakan faktor terpenting terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa. Biasanya reaksi pertama saat orang tua mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Menurut Somantri (2005:101) reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam pola, yaitu:
a.       timbulnya rasa bersalah atau berdosa,
b.      orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya,
c.       orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain, dan
d.      orang tua menerima anaknya beserta keadaannya sebagaimana mestinya.

Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan anaknya itu. Sebagai reaksi dari orang tua atas sikap-sikapnya itu maka:
a.       orang tua ingin menebus dosa dengan cara mencurahkan kasih sayangnya secara berlebih-lebihan pada anaknya,
b.      orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya,
c.       orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah, dan
d.      orang tua bersikap realistis terhadap anaknya.
Sikap-sikap orang tua ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anaknya. (Somantri, 2005:101)

3.      Bagi masyarakat
Pandangan bahwa anak tunarungu tidak dapat berbuat apapun yang umum beredar di masyarakat luas, menyebabkan anak tunarungu sulit memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, masyarakat hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan oleh orang normal.
Hal ini menyebabkan adanya kecemasan pada diri anak tunarngu serta keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapat bekerja sebagaimana biasanya.
4.      Bagi penyelenggara pendidikan
Pendidikan bagi anak tuanrungu sebenarnya tidaklah kurang, karena sudah ada lembaga pendidikan yang khusus menangani mereka seperti sekolah luar biasa (SLB) yang juga biasanya ada asrama bagi anak tunarungu yang tempat tinggalnya berada jauh dari sekolah, namun rupanya usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk menyekolahkan mereka.
Menurut Somantri (2005:102) usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada sekolah normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.