A.
Pengertian Tunarungu
Keadaan dimana
seseorang kehilangan pendengarannya yang mengakibatkan ia tidak dapat menangkap
berbagai rangsangan melalui indera pendengarannya disebut tunarungu.
Menurut Andreas Dwidjosumarto yang
dikutip oleh Somantri (2005:93) seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar
suara dikatakan tunarungu. Ada dua kategori ketunarunguan yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (low of hearing). Tuli adalah mereka yang
indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga
pendengaran tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang
indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk
mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Dengan demikian dapat
kita ketahui bahwa yang dikatakan tunarungu bukan hanya individu yang
benar-benar tidak bisa mendengar/tuli melainkan juga individu yang mengalami
kesulitan pendengaran.
Menurut Kosasih
(2012:173) terdapat kecenderungan
bahwa seseorang yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara.
Kondisi ini dapat menjadi suatu rangkaian sebab dan akibat.
Selain itu, Mufti Salim yang
dikutip oleh Somantri (2005:93) menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak
yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan
oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran
sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan
bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang
layak.
Dari kedua pendapat di
atas, dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah individu yang memiliki kelainan
yang berhubungan dengan indera pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
B.
Karakteristik Anak Tunarungu
Untuk mengenal
dan mengidentifikasi anak tunarungu, perlu adanya kemampuan
untuk mengetahui karakteristik yang dimilikinya. Berikut ini adalah
karakteristik anak tunarungu menurut Hidayat, dkk. (2006:129).
1.
Karakteristik fisik,
meliputi:
a. cara berjalannya
kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu,
b. gerak kaki dan
tangannya lincah/cepat sebab sering digunakan untuk berkomunikasi dengan
lingkungannya, sebagai pengganti bahasa lisannya,
c. gerakan matanya
cepat dan beringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat
kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat
pendengarannya,
dan
d. kemampuan
pernapasannya pendek-pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan
baik.
2.
Karakteristik dalam
segi bicara/bahasa, meliputi:
a. biasanya
individu yang tunarungu juga mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa,
b. tunarungu yang
diperoleh sejak lahir dapat belajar bicara dengan suara normal,
c. anak tunarungu
miskin dalam kosakata,
d. mengalami
kesulitan didalam mengartikan ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti
kiasan dan kata-kata abstrak,
e. dia kurang menguasai
irama dan gaya bahasa,
dan
f. dia mengalami
kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa.
3.
Karakteristik
kepribadiannya, meliputi:
a. anak tunarungu
yang tidak bependidikan cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam (bengis),
tidak simpatik, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin
membalas dendam, dan sebagianya,
b. lingkungan yang
menyenangkan dan memanjakan dpat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian
mental maupun emosi,
dan
c. anak tunarungu
menunjukan kondisi yang lebih neurotik, mengalami ketidakamanan dan
berkepribadian tertutup (introvert).
4.
Karakteristik emosi
dan sosialnya, meliputi:
a. suka menafsirkan
secara negatif,
b. kurang mampu
dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak,
c. memiliki
perasaan rendah diri dan merasa diasingkan, dan
d. memiliki rasa
cemburu dan prasangka karena tidak diperlakukan dengan adil serta sulit
bergaul.
C.
Klasifikasi Tunarungu
Melihat dari rentang
waktu terjadinya ketunarunguan, Kirk yang dikutip oleh Kosasih (2012:173)
mengelompokan gangguan pendengaran kedalam dua jenis, yakni prelingual dan postlingual. Kelompok anak tunarungu prelingual termasuk dalam tunarungu berat. Adapun postlingual adalah anak yang mengalami
kehilangan ketajaman pendengaran setelah kelahirannya.
Menurut Somantri
(2005:94) tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
klasifikasi secara etiologis dan menurut tarafnya. Di bawah ini penjelasan dari
dua klasifikasi tersebut.
1.
Klasifikasi secara etiologis
yaitu pembagian berdasarkan sebab-sebab, dalam hal ini
penyebab ketunarunguan ada beberapa faktor yaitu:
a.
Pada saat sebelum dilahirkan
1)
Salah satu atau kedua orang tua anak menderita
tunarungu atau mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal, misalnya dominat genes, recesive gen, dan lain-lain.
2)
Karena penyakit; seaktu ibu mengandung terserang
suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan
tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu
ialah rubella, moribili, dan lain-lain.
3)
Keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan ibu
meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak
menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal
ini akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.
b.
Pada saat kelahiran
1)
Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan
sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan (tang).
2)
Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum
waktunya.
c.
Pada saat setelah kelahiran (post natal)
1)
Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya
infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan
lain-lain.
2)
Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.
3)
Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
alat pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh.
2.
Klasifikasi menurut tarafnya
Andreas Dwidjosumarto (Somantri, 2005:95) mengemukakan:
a.
tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara
35-54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar
secara khusus.
b.
tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar
antara 55-69 dB, penderita kadang-kadang memerlukan penempatan sekolah secara
khusus, dalam kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan
latihan berbahasa secara khusus.
c.
tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar
antara 70-89 dB.
d.
tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB
ke atas.
Penderita dari tingkat
I dan II dikatakan mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari mereka
sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan
pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat
III dan IV pada hakikatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
D.
Pengaruh Pendengaran pada Perkembangan Bicara
dan Bahasa
Bahasa merupakan alat
komunikasi yang dipergunakan manusia dalam mengadakan hubungan dengan
sesamanya. Ketajaman pendegaran sangat mempengaruhi proses perkembangan bicara
dan bahasa. Anak
tunarungu akan mengalami hambatan yang cukup berat dalam hal ini karena proses
peniruanya hanya terbatas pada peniruan visual, sehingga anak tunarungu
memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan
taraf ketunarunguannya.
Menurut Sri Moerdiani
(1987:29) perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu dapat digambarkan
sebagai berikut.
1. Fase
Motorik yang tidak teratur
a.
Anak melakukan gerakan-gerakan yang teratur.
b. Menangis
2. Fase
Meraban (Bubbling)
Pada awal fase
meraban tidak terjadi hambatan, karena fase meraban merupakan gerakan alamiah
dari pernapasan dan pita suara. Fase meraban ini sama dengan fase meraban anak
normal. Namun karena anak tunarungu tidak memperoleh umpan balik dari suaranya
sendiri dan respons dari orang dewasa disekitarnya, meraban ini lama-lama
menghilang dan tidak diikuti oleh fase bicara selanjutnya.
Perkembangan kemampuan
bahasa dan komunikasi anak tunarungu harus melalui penglihatannya dan
memanfaatkan sisa pendengarannya. Oleh sebab itu komunikasi bagi anak tunarungu
mempergunakan segala aspek yang ada pada dirinya.
Hambatan
perkembangan bahasa yang dialami oleh anak tunarungu dapat berdampak pada
kesulitan mereka dalam memaknai arti kata, sehingga anak ini bisa mengembangkan
konsep kata melalui manipulasi gerak bibir. Berdasarkan penelitian Lewis yang
dikutip oleh Hidayat, dkk. (2006:22) mengemukakan bahwa “ketunarunguan yang
dialami seorang anak dapat mengakibatkan perasaan harga diri kurang dan mudah
curiga terhadap orang lain”. Dampak dari kondisi tersebut mereka tidak dapat
menyesuaikan diri atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial sehingga
mereka tidak dapat mewujudkan diri dalam peran sosialnya secara optimal.
Bahasa mempunyai fungsi
dan peran pokok sebagai media untuk berkomunikasi. Menurut Depdikbud yang
dikutip Somantri (2005:96) dalam fungsinya dapat pula dibedakan bebagai peran
lain dari bahasa seperti:
1)
bahasa
sebagai wahana untuk mengadakan kontak/hubungan,
2)
untuk
mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan keinginan,
3)
untuk
mengatur dan menguasai tingkah laku orang lain,
4)
untuk
pemberian informasi, dan
5)
untuk
memperoleh pengetahuan.
Dengan demikian bila seorang
anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka akan memiliki sarana untuk mengembangkan segi sosial,
emosional, maupun intelektualnya.
Menurut Somantri (2005:96-97) media
komunikasi yang dapat digunakan sebagai berikut.
a)
Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap
menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan
dari pihak anak tunarungu.
b)
Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai
sarana penerimaannya.
c)
Menggunakan isyarat sebagai media.
E.
Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu
Ketunarunguan
berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang tunarungu mengalami
kesulitan dalam perkembangan kognitifnya, sehingga akan berakibat pada
terhambatnya proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas.
Soemantri (2005:97)
mengemukakan bahwa pada umumnya intelegensi anak tunarungu secara potensial
sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi
oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan kiranya daya
abstraksi anak.
Perkembangan kognitif
anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga hambatan
pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi anak tunarungu.
Cruickshank yang dikutip oleh Somantri (2005:97) mengemukakan bahwa anak-anak tunarungu sering memperlihatkan
keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Keadaan ini
tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak
tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang dimiliki, rangsangan
mental, serta dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi
anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.
Dengan demikian,
hambatan intelektual yang rendah anak tunarungu bukanlah suatu penyebab
kerendahan tingkat intelegensinya, melainkan karena tidak mendapat kesempatan
untuk mengembangkan intelegensinya. Pemberian bimbingan yang teratur terutama
dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensi anak
tunarungu. Anak tunarungu terhambat perkembangannya yang bersifat verbal,
misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan, dan
meramalkan kejadian. Sementara aspek intelegensi yang bersumber dari
penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tetapi
justru berkembang lebih cepat.
F.
Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu
Kepribadian pada
dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan
cara-cara yang unik dalam penyesuaiannya dengan lingkungan. (Somantri, 2005:99)
Untuk mengetahui
keadaan kepribadian anak tunarungu, kita perlu perhatikan bagaimana penyesuaian
diri mereka. Hubungan antara anak dan orang tua terutama ibu menentukan
perkembangan kepribadiannya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya.
Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan
menerima rangsangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi,
dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya
menghambat perkembangan kepribadiannya.
G. Masalah-Masalah
yang Dialami Anak Tunarungu
Masalah-masalah
yang dialami anak tunarungu dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Masalah
Komunikasi
Masalah ini adalah masalah anak tunarungu
yang paling
kompleks, masalah ini timbul karena tidak berfungsinya indra pendengaran baik
sebagian maupun seluruhnya yang ternyata berakibat fatal dalam kehidupannya. Masalah-masalah
lain
yang ditimbulkan karena masalah komunkasi diataranya: tingkah laku yag ditandai
dengan tekanan emosi, suka marah, kesulitan dalam penyesuaian sosial,
perkembangan bahasa
yang lambat dan gelisah.
2. Masalah
Pribadi
Masalah ini mencakup permasalahan yang
berkaitan dengan masalah kondisi pribadi anak tuarugu, masalah-masalah berkisar
pada perasaan tertekan, perasaan ragu-ragu, selalu curiga dan agresif.
3. Masalah
Pengajaran atau Kesulitan Belajar
Masalah ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan
dalam proses belajar-mengajar. Masalah yang timbul
dalam proses belajar-mengajar misalnya kesulitan menangkap kata-kata
abstrak terutama mengalami kesulitan belajar bidang studi bahasa.
4. Masalah
Penggunaan Waktu Terluang
Dengan beralasan pada kelainan yang
dimiliki, anak tunarungu sering membuat waktu luangnya dengan sia-sia tidak
sedikitpun kegiatan berguna yang dilakukannya.
5. Masalah
Pembinaan Keterampilan dan Pekerjaan
Anak tunarungu biasanya memiliki
kemampuan akademik terbatas atau terhambat didalam pengembangannya, sehingga
membuat dirinya kesulitan dalam mencari pekerjaan dan megakibatkan ia terlalu
menggantungkan
dirinya pada orang lain.
H.
Dampak Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga,
Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan
Dampak
Ketunarunguan Bagi Individu, Keluarga, Masyarakat, dan Penyelenggara pendidikan
adalah sebagai berikut.
1.
Bagi anak tunarungu sendiri
Anak tunarungu
biasaya miskin kosakata sehingga ia akan kesulitan dalam mengartikan kata-kata
yang abstrak dan mengandung kiasan, mengalami gangguan bicara, sehingga pada
intinya anak tunarungu mengalami gangguan dalam bicara dan berbahasa atau
komunikasi.
2.
Bagi keluarga
Berhasil tidaknya
anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada bimbingan dan
pengaruh keluarga karena keluarga merupakan faktor terpenting terhadap
perkembangan anak terutama anak luar biasa. Biasanya reaksi pertama saat orang tua mengetahui bahwa anaknya
menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Menurut Somantri (2005:101)
reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat dibedakan atas bermacam-macam pola,
yaitu:
a.
timbulnya
rasa bersalah atau berdosa,
b.
orang
tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi
harapannya,
c.
orang
tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak lain, dan
d.
orang
tua menerima anaknya beserta keadaannya sebagaimana mestinya.
Sikap orang tua
sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan anaknya itu. Sebagai reaksi
dari orang tua atas sikap-sikapnya itu maka:
a.
orang
tua ingin menebus dosa dengan cara mencurahkan kasih sayangnya secara
berlebih-lebihan pada anaknya,
b.
orang
tua biasanya menolak kehadiran anaknya,
c.
orang
tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya di rumah, dan
d.
orang
tua bersikap realistis terhadap anaknya.
Sikap-sikap orang tua ini mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anaknya.
(Somantri, 2005:101)
3.
Bagi masyarakat
Pandangan bahwa
anak tunarungu tidak dapat berbuat apapun yang umum beredar di masyarakat luas,
menyebabkan anak tunarungu sulit memperoleh pekerjaan. Oleh karena
itu, masyarakat hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak
tunarungu walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah
lazim dilakukan oleh orang normal.
Hal ini menyebabkan
adanya kecemasan pada diri anak tunarngu serta keluarganya, sehingga lembaga
pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu karena anak tidak dapat bekerja
sebagaimana biasanya.
4.
Bagi penyelenggara pendidikan
Pendidikan bagi
anak tuanrungu sebenarnya tidaklah kurang, karena sudah ada lembaga pendidikan
yang khusus menangani mereka seperti sekolah luar biasa (SLB) yang juga
biasanya ada asrama bagi anak tunarungu yang tempat tinggalnya berada jauh dari sekolah, namun rupanya
usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk menyekolahkan
mereka.
Menurut Somantri (2005:102) usaha lainnya yang mungkin
akan dapat mendorong anak tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka
mengikuti pendidikan pada sekolah normal/biasa dan disediakan program-program
khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
minta daftar pustaka nya dong
BalasHapusTerimakasih Informasinya, sangat membantu saya :)
BalasHapusTrimakasih atas informasinya, sangat menginsporasi
BalasHapusdaftar pustakanya ada k.?
BalasHapus