A.
Definisi
Belajar
Terdapat definisi para ahli mengenai belajar ( Muhibbin, 2010: 88), diantaranya :
- Skinner seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology : The Teaching Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
- Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman, rumsan kedua “belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus”
- Menurut Hintzman dalam bukunya The Psychology of Lerning and Memory menyebutkan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusa atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.
- Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.
- Rebeb dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar adalah A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of rainforced practise, yaitu suatu perubahan kemampuan reaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diiperkuat.
Jadi dapat
disimpulkan belajar adalah tahapan perubahan perilaku individu yang relatif
positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan
proses kognitif, afektif dan psikomotor.
B.
Arti
Penting Belajar
Belajar adalah key term (istilah
kunci) yang paling vital dalam setiap unsur pendidikan, sehingga tanpa belajar
sesungguhnya tak pernah ada pendidikan sebagai suatu proses, belajar hampir
selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang Berkaitan
dengan upaya pendidikan, misalnya psikologi pendidikan. Karena demikian
pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen
psikologi pendidikanpun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas
dan mendalam menguasai proses perubahan manusia itu.
Belajar memainkan peran penting
dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di
tengah-tengah persiapan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang
lebih maju karena belajar.
Dalam perspektif keagamaanpun
belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu
pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam
surat Al-Mujadalah ayat 11.
Seorang siswa yang menempuh proses
belajar yang ideal yaitu ditandai munculnya pengalaman-pengalaman psikologi
baru yang positif yang diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sikap, sifat
dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan destruktif (merusak)
C.
Jenis-jenis
Belajar
Menurut
Slameto (2003: 5) terdapat jenis-jenis belajar, yaitu:
1.
Belajar
bagian (part learning,fractioned
learning)
Umumnya belajar bagian dilakukan oleh
seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau
ekstensif, misalnya mempelajari sajak ataupun gerakan-gerakan motoris seperti
bermain silat. Dalam hal ini individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi
bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri. Sebagai lawan dari cara
belajar bagian adalah cara belajar keseluruhan atau belajar global.
2.
Belajar
dengan wawasan (learning by insight)
Menurut Gestalt teori waawsan merupakan
proses mengorganisasikan pola-pola tingkah laku yang terbentuk menjadi satu
tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan.
Sedangkan bagi kaum neo-behaviorisme
( antara lain C.E. Osgood) menganggap wawasan sebagai salah satu bentuk atau
wujud dari asosiasi stimulus-respons.
3.
Belajar
Diskriminatif (discriminatif learning)
Bealajar diskriminatif diartikan sebagai
suatu usaha untuk memilih beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian
menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Dengan pengertian ini maka
dalam eksperimen, subjek diminta untuk berespon secara berbeda-beda terhadap
stimulus yang berlainan.
4.
Belajar global/keseluruhan (global whole learning)
Di sini
bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang sampai pelajar
menguasainya; lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini juga sering disebut
metode Gestalt.
5.
Belajar
insidental (incidental learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan
bahwa belajar itu selalu berarah-tujuan (intensional). Sebab dalam belajar
insidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Atas
dasar ini maka untuk kepentingan penelitian disusun perumusan operasional
sebagai berikut: belajar disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk
yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kellak.
Dalam kehidupan sehari-hari belajar insidental ini merupakan hal yang sangat
penting. Oleh karena itu diantara para ahli belajar inimerupakan bahan
pembicaraan yang sangat menarik, khususnya sebagai bentuk belajar bertentangan
dengan belajar intensional. Dari salah satu penelitian ditemukan bahwa dalam
belajar insidental (dibandingkan dengan belajar intensional), jumlah frekuensi
materi belajar yang diperlihatkan tidak memegang peranan penting, prestasi
individu menurun dengan meningkatnya motivasi.
6.
Belajar
instrumental (instrumental learning)
Pada belajar insrumental, reaksi-reaksi
seseorang siswa yang diperlihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada
apakah siswa tersebut kaan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh
karema itu cepat atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan
memberikan penguat (reinforcement)
atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini maka salah satu bentuk belajar
instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah laku”. Di sini individu
diberi hadiah bila ia bertingkah laku sesuai dengan tingkah laku yang
diehendaki, dan sebaliknya ia dihukum bila memperlihatkan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah
laku tertentu.
7.
Belajar
intensional (intentional learning)
Belajar dalam arah tujuan, merupakan
lawan dari belajar insidental, yang akan dibahas lebih luas pada bagian
berikut.
8.
Belajar
Laten (latent learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan
tingkahlaku yang terlihat tidak terjadi secara segera, dan oleh karena itu
disebut laten. Selanjutnya eksperimen yang dilakukan terhadap binatang mengenai
balajar laten, menimbulkan pembicaraan yang hangat dikalangan penganut behaviorisme , khususnnya mengenai
peranan faktor penguat dalam belajar.
9.
Belajar
mental (mental learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang
terjadi di sini tidak nyata terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses
kognitif karena ada bahan yang dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini
sangat jelas terlihat pada tugas-tugas yang sifatnya motoris. Sehingga
perumusan operasional juga menjadi sangat berbeda. Ada yang mengartikan belajar
mental sebagai belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang
lain, membayangkan gerakan-gerkan orang lain dan lain-lain.
10.
Belajar
produktif (productive learning)
R. Berguis (1964) memberikan arti
belajar produktif sebagai beljar dengan transfer yang maksimum. Belajar adalah
mengatur keungkinan untuk melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke
situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip
mennyelesaikan satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
11.
Belajar
verbal (verbal learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai
materi verbal dengan melalui latihan dan ingatan. Dasar dari belajar verbal
diperlihatkan dalam ekdperimen klasik dari Ebbhinghaus. Sifat eksperimen ini
meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan dua kata yang tidak bermakna
sampai pada belajar dengan wawasan mengenai penyelesaian persoalan yang
kompleks yang harus diungkapkan secara verbal.
D.
Prinsip-prinsip
belajar
a. Berdasarkan
prasyarat yang diperlukan untuk belajar
1. Dalam
belajar siswa harus diusahakan pertisipasi aktif, meningkatkan minat dan
membimbing untuk mencapai tujuan instruksional;
2. Belajar
harus dapat menimbulkan reinforcement
dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional;
3. Belajar
perlu lingkungan yang menantang di mana anak dapat mengembangkan kemampuannya
bereksplorasi dan belajar dengan efektif;
4. Belajar
perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
b. Sesuai
hakikat belajar
1. Belajar
itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya;
2. belajar
adalah proses organisasi, adaptasi, eksporasi dan discoveri;
3. Belajar
adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan
pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus
yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan.
c. Sesuai
materi/bahan yang harus dipelajari
1. Belajar
bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang
sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya;
2. Belajar
harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional
yang harus dicapainya.
d. Syarat
keberhasilan belajar
1. Belajar
memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;
2. Repetisi,dalam
proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/keterampilan/sikap
itu mendalam pada siswa.
E.
Makna
Belajar
Berbeda orang,
maka berbeda pula sudut pandang dari kata “belajar”. Untuk yang berfikir
positif ketika ia dihadapkan dengan kata belajar, maka yang ada dipikirannya
adalah kegiatan unik yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan yang
dimilikinya. Tetapi ada pula orang yang ketika dihadapkan dengan kata “belajar”
maka yang ada dibelnaknya adalah hal formal yang membosankan, tugas rumah yang
banyak, buku-buku yang tebal dan membuat pusing kepala, ujian, bahkan anacaman
tidak lulus atau DO.
Menurut Noer
(2010) pada kondisi seperti ini setidaknya ada beberapa hal yang disepakati. Pertama
belajar bukanlah pekerjaan yang meyenangkan. Kedua belajar Anda lakukan
seringkali karena terpaksa. Apakah terpaksa lulus, atau terpaksa supaya dapat
ijazah. Belajar menjadi kehilangan maknanya.
Anggapan bahwa
belajar bukanlah pekerjaan yang menyenangkan dapat ditemui oleh banyak orang,
karena sejak awalnya orang-orang menganggap bahwa belajar selalu identik dengan
buku, membaca, tugas, hitung, yang sama sekali tidak membuat kita merasa
senang. Bahkan lebih tepatnya kita merasa tertekan dengan segala hal yang
menyangkut dengan kata-kata belajar.
Anggapan
kedua bahwa belajar yang dilakuakn sering kali karena terpaksa. munculnya
anggapan ini dikarenakan belajar itu sendiri sudah seperti tradisi yang
dilakukan oleh orang-orang tanpa mengetahui dnegan benar tujuan dari belajar
itu sendiri. Anak yang berumur 4-5 tahun dimasukan ke dalam Taman Kanak-kanak dan
anak yang berusia 6-7 tahun dimasukkan ke dalam Sekolah Dasar oleh orang
tuanya. Dan memang sebgian bear orang tua memasukkan anaknya beralasan karena
memang sudah waktunya untuk masuk Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar saja,
banyak dari ornag tua yang tidak mengetahui tujuannya apa, manfaatnya dan lain
sebagainya. Dengan begitu anak hanya akan mengikuti kemauan orang tuanya dengan
terpaksa.
Jika kita
melihat proses belajar yang dilakukan oleh seorang bayi yang sedang belajar
berjalan, maka sebenarnya kita tidak lebih baik baik dibandingkan bayi
tersebut. Dalam belajar berjalan bayi terus belajar dan belajar untuk dapat
terus berjalan meskipun jatuh beberapa kali demi menyelesaikan tugas yang sulit
walau tanpa petunjuk yangteknis yang dibutuhkan, dan pada akhirnya bayi
tersebut dapat berjalan .
Sedikitnya ada dua hal yang membuat sang bayi berhasil. Pertama,
ia tidak pemah mengenal konsep kegagalan. Ia hanya tahu untuk mencoba dan
mencoba belajar dari pengalamannya sendiri. Ia tidak mau tersungkur untuk
selama-lamanya. Kedua, sang bayi selalu mendapat dukungan positif.
Ketika ia jatuh orangtuanya berkata, “Ayo nak berdiri lagi. Mama akan
membantumu.” Dan ketika ia berhasil, semua orang bergembira dan memberi selamat
atas keberhasilannya.
Jadi makna belajar dari belajar itu sendiri merupakan
kegiatan yang dilakukan berupa tahapan perubahan perilaku individu
yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses baik kognitif, afektif dan psikomotor yang dilakukan secara
kontinyu dan dapat dilakukan oleh siapapun kapanpun dan dimanapun demi mencapai
tujuan tertentu.
F.
Belajar
sebagai Kebutuhan
Kebutuhan adalah
sesuatu yang kita butuhkan sekarang, besok, ataupun lusa. Berbicara mengenai
keperluan yang sifatnya mendasar. Kebutuhan itu berkaitan dengan suatu hal yang
kadang kala tidak penting namun tanpa hal tersebut kita tidak akan dapat
memperoleh hal lainnya. Oleh karena itu kalau suatu hal tersebut adalah
kebutuhan maka kita akan melakukannya dengan senang hati, karena akan sangat
bermanfaat bagi hidup kita. Contohnya itu belajar. Kenapa ? karena belajar itu
bisa menghasilkan sesuatu yang nantinya kelak akan ada hal yang penting.
Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya menanamkan wajib 9 tahun ! Untuk
apa ? bukan lain hanya untuk melengkapi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Dengan
belajar 9 tahun ini masyarakat diharapkan mampu mengembangkan kebutuhan
tersebut menjadi kebutuhan lainnya. Dari SD ke SMP melanjutkan ke SMA setelah
itu kita bisa Kerja/Kuliah. Jadi, kesimpulannya adalah dengan adanya kebutuhan,
kita dapat memenuhi hal lainnya, dengan melaksanakan kebutuhan ini kita akan
memperoleh hal lainnya pula yang sangat bermanfaat bagi kita semua.
Belajar yang menjadi kebutuhan
memungkinkan kita melakukannya dengan menyenangkan dan semangat karena kita
tahu bahwa belajar adalah kebutuhan yang akan menentukan masa depan kita.
Menurut Robert Steinbach (Paryontri : 2012) dalam
bukunya Successful Lifelong Learning yang mengungkapkan ada lima alasan
seseorang mesti belajar terus menerus.
Alasan 1:
Perubahan berjalan cepat. Sehingga
seseorang harus mengikuti perubahan itu dengan cepat.
Alasan 2:
Kondisi Ekonomi. Secara ekonomi, dengan
keadaan yang serba cepat seperti sekarang ini, dibutuhkan orang-orang yang
memang mau belajar dengan niat, kemauan, dan keterampilannya sendiri. Kita akan
dipandang oleh suatu masyarakat atau suatu perusahaan dimana kita kerja,
tergantung kita dalam menjadikan diri kita lebih aktif dan agresif dalam
belajar.
Alasan 3:
Kualitas Hidup. Belajar tentu akan
memperkaya hidup kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat. Kualitas
hidup kita dapat dilihat dari bagaimana kita bisa memperbaiki diri kita dari
hari ke hari.
Alasan 4:
Keamanan. Orang yang memiliki
pengetahuan yang tinggi tentu mereka yang percaya pada kemampuannya sendiri.
Disinilah letak rasa aman itu. Seseorang yang merasa aman adalah orang yang
bisa dihargai di masyarakat dan selalu bisa mengikuti tuntutan zaman. Melalui
keterampilan sendiri, seseorang tentu mampu melakukan berbagai hal-hal yang
baru dalam mengamankan kehidupannya.
Alasan 5:
Kondisi Alamiah
Manusia. Sejak lahir, manusia memang diciptakan untuk belajar. Belajar
merupakan proses sepanjang hidup. Banyak tokoh di dunia ini yang menggunakan
sepanjang hidupnya untuk belajar, seperti Leonardo da Vinci, Abraham Lincoln,
Helen Keller, dan Malcolm X.
Ditambahnya 5
alasan seseorang harus belajar secara terus-menerus, maka ini memperkuat bahwa
belajar bukan lagi sebagai suatu formalitas atau tradisi belaka, melainkan
menjadi kebutuhan bagi setiap individu dalam menjalani hidupnya.
G.
Upaya
yang Dilakukan Menjadikan Belajar sebagai Kebutuhan
Menurut Adhim (2010) untuk
menjadikan belajar sebagai kebutuhan, khususnya bagi siswa SD, upaya yang dapat
dilakukan yaitu membangun dua hal berikut :
1.
Membangun Sikap Belajar
Sama seperti orangtua, anak-anak juga
kurang bergairah melakukan sesuatu jika ia belum memiliki sikap belajar yang
baik. Meskipun ia tahu betul bahwa belajar sangat bermanfaat bagi kehidupannya
kelak. Ia tetap akan enggan berkutat di depan buku atau duduk takzim kepada
seorang guru menanti tetesan ilmu darinya jika ia belum memiliki perasaan
positif terrhadap belajar. Itu sebabnya, kita memiliki tugas menanamkan
perasaan positif terhadap belajar kepada anak semenjak dini, terutama pada
rentang usia 4-8 tahun.
Ini pula yang harus diperhatikan oleh
kita selaku guru SD. Membangun sikap positif terhadap belajar anak sangat
penting untuk diperhatikan.
Jadi, sikap belajarlah yang harus
kita bangun terlebih dulu. Bukan kecakapan akademik. Usia tujuh tahun belum
lancar membaca tidak masalah asalkan ia sudah memiliki sikap belajar yang baik
dan kokoh.
Terampil membaca di usia empat tahun
karena ada motivasi belajar yang kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa
hebat. Tetapi terampil membaca di usia yang sama semata karena dilatih oleh
gurunya di TK ataupun orangtua di rumah, adalah musibah besar yang keburukannya
akan terlihat ketika usianya memasuki 10 atau 14 tahun.
Beruntung jika dampak negatifnya
terlihat pada usia 6 tahun, kita bisa segera melakukan tindakan untuk
memulihkan kondisi psikis anak. Cara penanganannya relatif masih lebih mudah.
Tetapi jika dampak negatif dari salah perlakuan itu baru kita ketahui pada usia
14 tahun, perlu waktu yang lebih lama dan penanganan yang lebih pelik untuk
memulihkan minat belajar anak dan kondisi mentalnya secara umum.
Ini sama dengan menghafal. Kita
berharap anak-anak kita memiliki hafalan yang banyak atas ayat-ayat al-Qur’an
serta Hadits yang mulia. Tetapi banyaknya hafalan tidak menjadi penanda
bercahayanya jiwa mereka oleh ayat suci.
Besarnya rasa cinta kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala (SWT) dan Rasul-Nya akan membangkitkan hasrat yang kuat
untuk belajar dan menghafal, tetapi banyaknya hafalan tidak dengan sendirinya
menjadikan anak memiliki kecintaan kepada agama.
Jika cara kita menggembleng mereka
untuk menghafal tidak tepat, justru yang terjadi bisa sebaliknya. Besarnya
tekanan untuk menghafal membuat mereka mengalami kebosanan belajar justru di
saat mereka memasuki usia emas untuk mengingat, memahami dan mengkaji.
Tentu saja kita boleh mengajari
anak-anak kita menghafal. Kita sudah pernah berbincang di forum ini dalam
tulisan bertajuk Menguatkan Hafalan tanpa Melemahkan Kecerdasan. Saya hanya
ingin mengingatkan kembali dengan keprihatinan yang amat dalam agar tidak salah
orientasi. Kita perlu merangsang kekuatan hafalan mereka, tetapi hafalan
bukanlah orientasi pendidikan Islam. Bukan untuk itu kita mendidik mereka dan
mendirikan sekolah. Apa pun nama sekolah itu.
Jadi, tugas kita yang paling penting
dalam kaitannya dengan menumbuhkan minat belajar pada anak adalah membangun
sikap positif terhadap belajar. Ini terjadi pada rentang usia 4-8 tahun,
meskipun pada usia sebelumnya kita sudah bisa mengaitkan hal-hal yang
menyenangkan bagi anak dengan belajar.
Sikap positif itu kita tumbuhkan dengan memberi pengalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak, menciptakan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar, menunjukkan dan manfaat belajar. Selain itu, menularkan antusiasme terhadap ilmu, memberi apresiasi terhadap belajar melalui ucapan-ucapan kita yang terencana maupun spontan, serta menjadikan diri kita sebagai contoh.
Sikap positif itu kita tumbuhkan dengan memberi pengalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak, menciptakan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar, menunjukkan dan manfaat belajar. Selain itu, menularkan antusiasme terhadap ilmu, memberi apresiasi terhadap belajar melalui ucapan-ucapan kita yang terencana maupun spontan, serta menjadikan diri kita sebagai contoh.
2.
Membangun Kepercayaan Diri
Hal lain yang juga perlu kita
perhatikan adalah perasaan bahwa anak memiliki kompetensi yang layak
diandalkan. Sepintar apa pun anak, jika mereka merasa tidak mempunyai kelebihan
apa pun yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri,
akan cenderung lemah percaya dirinya. Ini akan sangat berpengaruh terhadap
minat dan kesung¬guhannya belajar.
Secara alamiah, anak akan memiliki
antusiasme dan percaya diri yang baik. Secara alamiah pula, anak-anak akan
menunjukkan kelebihan mereka dan meminta pengakuan mereka. Ini terutama terjadi
semenjak anak usia 2 tahun. Meskipun kerap memperoleh tanggapan negatif dari
orangtua, percaya diri anak serta perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi
(sense of competence) cenderung masih kuat sampai anak usia 6 tahun. Tetapi
jika di usia ini masih sering memperoleh komentar negatif, anak akan mulai kehilangan
percaya diri dan me¬rasa bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun.
Sebagian besar yang membuat anak
tidak memiliki kemampuan yang layak diandalkan adalah komentar pendidik, baik
orangtua maupun guru di sekolah. Pada sebagian kasus, anak kehilangan sense of
competence (kesadaran atau perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi) karena
komentar guru yang buruk.
Apa yang terjadi jika anak tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya
memiliki kompetensi? Mereka akan malas belajar. Bahkan bisa jadi mereka anti
belajar. Sebab segigih apa pun mereka berusaha, mereka merasa akan tetap saja
tidak memiliki kelebihan. Sebaliknya, anak akan mengembangkan minat belajarnya
jika mereka memiliki sense of competence yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar