Kamis, 21 Februari 2013

Makna Belajar dan Belajar Sebagai Suatu Kebutuhan


A.    Definisi Belajar
Terdapat definisi para ahli  mengenai belajar ( Muhibbin,  2010: 88), diantaranya :
  • Skinner seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology : The Teaching Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
  •  Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi “Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman, rumsan kedua “belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus”
  • Menurut Hintzman  dalam bukunya The Psychology of Lerning and Memory menyebutkan bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusa atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.
  • Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.
  • Rebeb dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah The process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar adalah  A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of rainforced practise, yaitu suatu perubahan kemampuan reaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diiperkuat.
Jadi dapat disimpulkan belajar adalah tahapan perubahan perilaku individu yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor.

B.     Arti Penting Belajar
Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap unsur pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan sebagai suatu proses, belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu yang Berkaitan dengan upaya pendidikan, misalnya psikologi pendidikan. Karena demikian pentingnya arti belajar, maka bagian terbesar upaya riset dan eksperimen psikologi pendidikanpun diarahkan pada tercapainya pemahaman yang lebih luas dan mendalam menguasai proses perubahan manusia itu.
Belajar memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persiapan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih maju karena belajar.
Dalam perspektif keagamaanpun belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam surat Al-Mujadalah ayat 11.
Seorang siswa yang menempuh proses belajar yang ideal yaitu ditandai munculnya pengalaman-pengalaman psikologi baru yang positif yang diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sikap, sifat dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan destruktif (merusak)

C.    Jenis-jenis Belajar
Menurut Slameto (2003: 5) terdapat jenis-jenis belajar, yaitu:
1.      Belajar bagian (part learning,fractioned learning)
Umumnya belajar bagian dilakukan oleh seseorang bila ia dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajari sajak ataupun gerakan-gerakan motoris seperti bermain silat. Dalam hal ini individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri. Sebagai lawan dari cara belajar bagian adalah cara belajar keseluruhan atau belajar global.
2.      Belajar dengan wawasan (learning by insight)
Menurut Gestalt teori waawsan merupakan proses mengorganisasikan pola-pola tingkah laku yang terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan. Sedangkan bagi kaum neo-behaviorisme ( antara lain C.E. Osgood) menganggap wawasan sebagai salah satu bentuk atau wujud dari asosiasi stimulus-respons.
3.      Belajar Diskriminatif (discriminatif learning)
Bealajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih beberapa sifat situasi/stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Dengan pengertian ini maka dalam eksperimen, subjek diminta untuk berespon secara berbeda-beda terhadap stimulus yang berlainan.
4.      Belajar global/keseluruhan (global whole learning)
Di sini  bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang sampai pelajar menguasainya; lawan dari belajar bagian. Metode belajar ini juga sering disebut metode Gestalt.
5.      Belajar insidental (incidental learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu berarah-tujuan (intensional). Sebab dalam belajar insidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Atas dasar ini maka untuk kepentingan penelitian disusun perumusan operasional sebagai berikut: belajar disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kellak. Dalam kehidupan sehari-hari belajar insidental ini merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu diantara para ahli belajar inimerupakan bahan pembicaraan yang sangat menarik, khususnya sebagai bentuk belajar bertentangan dengan belajar intensional. Dari salah satu penelitian ditemukan bahwa dalam belajar insidental (dibandingkan dengan belajar intensional), jumlah frekuensi materi belajar yang diperlihatkan tidak memegang peranan penting, prestasi individu menurun dengan meningkatnya motivasi.
6.      Belajar instrumental (instrumental learning)
Pada belajar insrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang diperlihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut kaan mendapat hadiah, hukuman, berhasil atau gagal. Oleh karema itu cepat atau lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan penguat (reinforcement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan. Dalam hal ini maka salah satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah “pembentukan tingkah laku”. Di sini individu diberi hadiah bila ia bertingkah laku sesuai dengan tingkah laku yang diehendaki, dan sebaliknya ia dihukum bila memperlihatkan tingkah laku yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu.
7.      Belajar intensional (intentional learning)
Belajar dalam arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental, yang akan dibahas lebih luas pada bagian berikut.
8.      Belajar Laten (latent learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkahlaku yang terlihat tidak terjadi secara segera, dan oleh karena itu disebut laten. Selanjutnya eksperimen yang dilakukan terhadap binatang mengenai balajar laten, menimbulkan pembicaraan yang hangat dikalangan penganut behaviorisme , khususnnya mengenai peranan faktor penguat dalam belajar.
9.      Belajar mental (mental learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi di sini tidak nyata terlihat, melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan yang dipelajari. Ada tidaknya belajar mental ini sangat jelas terlihat pada tugas-tugas yang sifatnya motoris. Sehingga perumusan operasional juga menjadi sangat berbeda. Ada yang mengartikan belajar mental sebagai belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan-gerkan orang lain dan lain-lain.
10.  Belajar produktif (productive learning)
R. Berguis (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai beljar dengan transfer yang maksimum. Belajar adalah mengatur keungkinan untuk melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip mennyelesaikan satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
11.  Belajar verbal (verbal learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui latihan dan ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam ekdperimen klasik dari Ebbhinghaus. Sifat eksperimen ini meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan mengenai penyelesaian persoalan yang kompleks yang harus diungkapkan secara verbal.

D.    Prinsip-prinsip belajar
a.       Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar
1.      Dalam belajar siswa harus diusahakan pertisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional;
2.      Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional;
3.      Belajar perlu lingkungan yang menantang di mana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif;
4.      Belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
b.      Sesuai hakikat belajar
1.      Belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya;
2.      belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksporasi dan discoveri;
3.      Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan.
c.       Sesuai materi/bahan yang harus dipelajari
1.      Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya;
2.      Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
d.      Syarat keberhasilan belajar
1.      Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;
2.      Repetisi,dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/keterampilan/sikap itu mendalam pada siswa.

E.     Makna Belajar
Berbeda orang, maka berbeda pula sudut pandang dari kata “belajar”. Untuk yang berfikir positif ketika ia dihadapkan dengan kata belajar, maka yang ada dipikirannya adalah kegiatan unik yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Tetapi ada pula orang yang ketika dihadapkan dengan kata “belajar” maka yang ada dibelnaknya adalah hal formal yang membosankan, tugas rumah yang banyak, buku-buku yang tebal dan membuat pusing kepala, ujian, bahkan anacaman tidak lulus atau DO.
Menurut Noer (2010) pada kondisi seperti ini setidaknya ada beberapa hal yang disepakati. Pertama belajar bukanlah pekerjaan yang meyenangkan. Kedua belajar Anda lakukan seringkali karena terpaksa. Apakah terpaksa lulus, atau terpaksa supaya dapat ijazah. Belajar menjadi kehilangan maknanya.
Anggapan bahwa belajar bukanlah pekerjaan yang menyenangkan dapat ditemui oleh banyak orang, karena sejak awalnya orang-orang menganggap bahwa belajar selalu identik dengan buku, membaca, tugas, hitung, yang sama sekali tidak membuat kita merasa senang. Bahkan lebih tepatnya kita merasa tertekan dengan segala hal yang menyangkut dengan kata-kata belajar.
Anggapan kedua bahwa belajar yang dilakuakn sering kali karena terpaksa. munculnya anggapan ini dikarenakan belajar itu sendiri sudah seperti tradisi yang dilakukan oleh orang-orang tanpa mengetahui dnegan benar tujuan dari belajar itu sendiri. Anak yang berumur 4-5 tahun dimasukan ke dalam Taman Kanak-kanak dan anak yang berusia 6-7 tahun dimasukkan ke dalam Sekolah Dasar oleh orang tuanya. Dan memang sebgian bear orang tua memasukkan anaknya beralasan karena memang sudah waktunya untuk masuk Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar saja, banyak dari ornag tua yang tidak mengetahui tujuannya apa, manfaatnya dan lain sebagainya. Dengan begitu anak hanya akan mengikuti kemauan orang tuanya dengan terpaksa.
Jika kita melihat proses belajar yang dilakukan oleh seorang bayi yang sedang belajar berjalan, maka sebenarnya kita tidak lebih baik baik dibandingkan bayi tersebut. Dalam belajar berjalan bayi terus belajar dan belajar untuk dapat terus berjalan meskipun jatuh beberapa kali demi menyelesaikan tugas yang sulit walau tanpa petunjuk yangteknis yang dibutuhkan, dan pada akhirnya bayi tersebut dapat berjalan .
Sedikitnya ada dua hal yang membuat sang bayi berhasil. Pertama, ia tidak pemah mengenal konsep kegagalan. Ia hanya tahu untuk mencoba dan mencoba belajar dari pengalamannya sendiri. Ia tidak mau tersungkur untuk selama-lamanya. Kedua, sang bayi selalu mendapat dukungan positif. Ketika ia jatuh orangtuanya berkata, “Ayo nak berdiri lagi. Mama akan membantumu.” Dan ketika ia berhasil, semua orang bergembira dan memberi selamat atas keberhasilannya.
Jadi makna belajar dari belajar itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan berupa tahapan perubahan perilaku individu yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses baik kognitif, afektif dan psikomotor yang dilakukan secara kontinyu dan dapat dilakukan oleh siapapun kapanpun dan dimanapun demi mencapai tujuan tertentu.

F.     Belajar sebagai Kebutuhan
Kebutuhan adalah sesuatu yang kita butuhkan sekarang, besok, ataupun lusa. Berbicara mengenai keperluan yang sifatnya mendasar. Kebutuhan itu berkaitan dengan suatu hal yang kadang kala tidak penting namun tanpa hal tersebut kita tidak akan dapat memperoleh hal lainnya. Oleh karena itu kalau suatu hal tersebut adalah kebutuhan maka kita akan melakukannya dengan senang hati, karena akan sangat bermanfaat bagi hidup kita. Contohnya itu belajar. Kenapa ? karena belajar itu bisa menghasilkan sesuatu yang nantinya kelak akan ada hal yang penting. Pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya menanamkan wajib 9 tahun ! Untuk apa ? bukan lain hanya untuk melengkapi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Dengan belajar 9 tahun ini masyarakat diharapkan mampu mengembangkan kebutuhan tersebut menjadi kebutuhan lainnya. Dari SD ke SMP melanjutkan ke SMA setelah itu kita bisa Kerja/Kuliah. Jadi, kesimpulannya adalah dengan adanya kebutuhan, kita dapat memenuhi hal lainnya, dengan melaksanakan kebutuhan ini kita akan memperoleh hal lainnya pula yang sangat bermanfaat bagi kita semua.
Belajar yang menjadi kebutuhan memungkinkan kita melakukannya dengan menyenangkan dan semangat karena kita tahu bahwa belajar adalah kebutuhan yang akan menentukan masa depan kita.

Menurut  Robert Steinbach (Paryontri : 2012) dalam bukunya Successful Lifelong Learning yang mengungkapkan ada lima alasan seseorang mesti belajar terus menerus.
Alasan 1:
Perubahan berjalan cepat. Sehingga seseorang harus mengikuti perubahan itu dengan cepat.
Alasan 2:
Kondisi Ekonomi. Secara ekonomi, dengan keadaan yang serba cepat seperti sekarang ini, dibutuhkan orang-orang yang memang mau belajar dengan niat, kemauan, dan keterampilannya sendiri. Kita akan dipandang oleh suatu masyarakat atau suatu perusahaan dimana kita kerja, tergantung kita dalam menjadikan diri kita lebih aktif dan agresif dalam belajar.
Alasan 3:
Kualitas Hidup. Belajar tentu akan memperkaya hidup kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang kita dapat. Kualitas hidup kita dapat dilihat dari bagaimana kita bisa memperbaiki diri kita dari hari ke hari.
Alasan 4:
Keamanan. Orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentu mereka yang percaya pada kemampuannya sendiri. Disinilah letak rasa aman itu. Seseorang yang merasa aman adalah orang yang bisa dihargai di masyarakat dan selalu bisa mengikuti tuntutan zaman. Melalui keterampilan sendiri, seseorang tentu mampu melakukan berbagai hal-hal yang baru dalam mengamankan kehidupannya.
Alasan 5:
Kondisi Alamiah Manusia. Sejak lahir, manusia memang diciptakan untuk belajar. Belajar merupakan proses sepanjang hidup. Banyak tokoh di dunia ini yang menggunakan sepanjang hidupnya untuk belajar, seperti Leonardo da Vinci, Abraham Lincoln, Helen Keller, dan Malcolm X.
Ditambahnya 5 alasan seseorang harus belajar secara terus-menerus, maka ini memperkuat bahwa belajar bukan lagi sebagai suatu formalitas atau tradisi belaka, melainkan menjadi kebutuhan bagi setiap individu dalam menjalani hidupnya.

G.    Upaya yang Dilakukan Menjadikan Belajar sebagai Kebutuhan
Menurut Adhim (2010) untuk menjadikan belajar sebagai kebutuhan, khususnya bagi siswa SD, upaya yang dapat dilakukan yaitu membangun dua hal berikut :
1.      Membangun Sikap Belajar
Sama seperti orangtua, anak-anak juga kurang bergairah melakukan sesuatu jika ia belum memiliki sikap belajar yang baik. Meskipun ia tahu betul bahwa belajar sangat bermanfaat bagi kehidupannya kelak. Ia tetap akan enggan berkutat di depan buku atau duduk takzim kepada seorang guru menanti tetesan ilmu darinya jika ia belum memiliki perasaan positif terrhadap belajar. Itu sebabnya, kita memiliki tugas menanamkan perasaan positif terhadap belajar kepada anak semenjak dini, terutama pada rentang usia 4-8 tahun.
Ini pula yang harus diperhatikan oleh kita selaku guru SD. Membangun sikap positif terhadap belajar anak sangat penting untuk diperhatikan.
Jadi, sikap belajarlah yang harus kita bangun terlebih dulu. Bukan kecakapan akademik. Usia tujuh tahun belum lancar membaca tidak masalah asalkan ia sudah memiliki sikap belajar yang baik dan kokoh.
Terampil membaca di usia empat tahun karena ada motivasi belajar yang kuat dalam dirinya, adalah hal yang luar biasa hebat. Tetapi terampil membaca di usia yang sama semata karena dilatih oleh gurunya di TK ataupun orangtua di rumah, adalah musibah besar yang keburukannya akan terlihat ketika usianya memasuki 10 atau 14 tahun.
Beruntung jika dampak negatifnya terlihat pada usia 6 tahun, kita bisa segera melakukan tindakan untuk memulihkan kondisi psikis anak. Cara penanganannya relatif masih lebih mudah. Tetapi jika dampak negatif dari salah perlakuan itu baru kita ketahui pada usia 14 tahun, perlu waktu yang lebih lama dan penanganan yang lebih pelik untuk memulihkan minat belajar anak dan kondisi mentalnya secara umum.
Ini sama dengan menghafal. Kita berharap anak-anak kita memiliki hafalan yang banyak atas ayat-ayat al-Qur’an serta Hadits yang mulia. Tetapi banyaknya hafalan tidak menjadi penanda bercahayanya jiwa mereka oleh ayat suci.
Besarnya rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) dan Rasul-Nya akan membangkitkan hasrat yang kuat untuk belajar dan menghafal, tetapi banyaknya hafalan tidak dengan sendirinya menjadikan anak memiliki kecintaan kepada agama.
Jika cara kita menggembleng mereka untuk menghafal tidak tepat, justru yang terjadi bisa sebaliknya. Besarnya tekanan untuk menghafal membuat mereka mengalami kebosanan belajar justru di saat mereka memasuki usia emas untuk mengingat, memahami dan mengkaji.
Tentu saja kita boleh mengajari anak-anak kita menghafal. Kita sudah pernah berbincang di forum ini dalam tulisan bertajuk Menguatkan Hafalan tanpa Melemahkan Kecerdasan. Saya hanya ingin mengingatkan kembali dengan keprihatinan yang amat dalam agar tidak salah orientasi. Kita perlu merangsang kekuatan hafalan mereka, tetapi hafalan bukanlah orientasi pendidikan Islam. Bukan untuk itu kita mendidik mereka dan mendirikan sekolah. Apa pun nama sekolah itu.
Jadi, tugas kita yang paling penting dalam kaitannya dengan menumbuhkan minat belajar pada anak adalah membangun sikap positif terhadap belajar. Ini terjadi pada rentang usia 4-8 tahun, meskipun pada usia sebelumnya kita sudah bisa mengaitkan hal-hal yang menyenangkan bagi anak dengan belajar.
Sikap positif itu kita tumbuhkan dengan memberi pengalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak, menciptakan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar, menunjukkan dan manfaat belajar. Selain itu, menularkan antusiasme terhadap ilmu, memberi apresiasi terhadap belajar melalui ucapan-ucapan kita yang terencana maupun spontan, serta menjadikan diri kita sebagai contoh.
2.      Membangun Kepercayaan Diri
Hal lain yang juga perlu kita perhatikan adalah perasaan bahwa anak memiliki kompetensi yang layak diandalkan. Sepintar apa pun anak, jika mereka merasa tidak mempunyai kelebihan apa pun yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan bahkan bagi dirinya sendiri, akan cenderung lemah percaya dirinya. Ini akan sangat berpengaruh terhadap minat dan kesung¬guhannya belajar.
Secara alamiah, anak akan memiliki antusiasme dan percaya diri yang baik. Secara alamiah pula, anak-anak akan menunjukkan kelebihan mereka dan meminta pengakuan mereka. Ini terutama terjadi semenjak anak usia 2 tahun. Meskipun kerap memperoleh tanggapan negatif dari orangtua, percaya diri anak serta perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi (sense of competence) cenderung masih kuat sampai anak usia 6 tahun. Tetapi jika di usia ini masih sering memperoleh komentar negatif, anak akan mulai kehilangan percaya diri dan me¬rasa bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan apa pun.
Sebagian besar yang membuat anak tidak memiliki kemampuan yang layak diandalkan adalah komentar pendidik, baik orangtua maupun guru di sekolah. Pada sebagian kasus, anak kehilangan sense of competence (kesadaran atau perasaan bahwa dirinya memiliki kompetensi) karena komentar guru yang buruk.
Apa yang terjadi jika anak tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kompetensi? Mereka akan malas belajar. Bahkan bisa jadi mereka anti belajar. Sebab segigih apa pun mereka berusaha, mereka merasa akan tetap saja tidak memiliki kelebihan. Sebaliknya, anak akan mengembangkan minat belajarnya jika mereka memiliki sense of competence yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar